Hati-hati Kerusakan Saraf, Riset Sebut Gaya Hidup Sedentari Meningkat di Indonesia
Gaya Hidup Sedentari
Gambar : pola hidup inaktif
TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah penduduk Indonesia dengan gaya hidup sedentari atau pola hidup inaktif, minim aktivitas fisik, mengalami peningkatan. Dampaknya, jumlah pasien penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes dan kerusakan saraf juga meningkat.
Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat di Direktorat Jenderal Kesehatan Masyakarat, Kementerian Kesehatan, Imran Agus Nurali, mengungkap itu saat konferensi pers virtual 'Neuropathy Awareness Week' pada Senin, 20 Juni 2022.
Dia memaparkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 yang menyebut proporsi penduduk Indonesia dengan gaya hidup sedentari naik menjadi 33,5 persen dari 26,1 persen pada 2013. Sebagai catatan, pandemi Covid-19 yang sempat memberlakukan segala aktivitas di rumah saja dan kegiatan berlangsung daring baru terjadi sejak awal 2020.
Tapi, dengan kondisi pada 2018 itu saja, Imran mengatakan, "sebanyak satu dari tiga orang menjalani gaya hidup sedentari.” Menurut Imran, peningkatan kasus PTM secara signifikan akan menambah beban masyarakat dan pemerintah mengingat penanganannya membutuhkan banyak waktu, biaya besar, serta teknologi tinggi.
Dia mengimbau masyarakat menjalani gaya hidup CERDIK: Cek kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin beraktivitas fisik, Diet yang sehat dan seimbang, Istirahat yang cukup dan Kelola stres. Juga Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) secara teratur, serta mengurangi garam, gula, dan lemak (GGL).
"Kampanye edukasi masyarakat dan deteksi dini PTM merupakan cara yang paling efektif dan efisien untuk mengendalikan faktor risiko," kata Imran.
Kerusakan saraf
Salah satu penyakit tidak menular yang menjadi sorotan adalah kerusakan saraf atau neuropati. Ini adalah gangguan pada sistem saraf tepi dengan gejala umum seperti kebas, kesemutan, rasa seperti tertusuk, dan sensasi terbakar di tangan dan kaki yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
“Saraf tepi atau perifer menghubungkan sistem saraf pusat dengan semua bagian penting tubuh,” kata Ketua Kelompok Studi Neuro Fisiologi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), Manfaluthy Hakim.
Ia mengimbau masyarakat membekali diri dengan lebih mengenal gejala-gejala neuropati dan melakukan deteksi dini agar pengobatan lebih awal dapat dilakukan, termasuk pemberian vitamin neurotropik. Tujuannya, mencegah dampak neuropati yang lebih berat karena, menurutnya, "Kerusakan saraf dapat bersifat irreversible jika lebih dari 50 persen serabut saraf telah rusak.”